KALIMANTAN-Rasisme di Malaysia ditengarai kuat terus terjadi secara mencolok di kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN)di pemerintahan. Masalahnya, pejabat penting di instansi-instansi pemerintah didominasi etnis Melayu, sebagaimana keluhan kalangan tokoh masyarakat dan politikus Negara Bagian Sarawak dan Sabah di Pulau Kalimantan.
Sangat sedikit pejabat tinggi dari kalangan bumiputera Sarawak dan Sabah sejak kedua wilayah dari Kalimantan alias Borneo ini, bergabung bersama Singapura ke Federasi Malaysia pada 16 September 1963.
Berikut laporan Patrick Sorongan dari Suara Pemred, Kalimantan Barat (Kalbar), provinsi yang berbatasan langsung dengan Sarawak, yang juga dirangkum dari berbagai sumber.
Baca juga:
Tony Rosyid: Siapa Pasangan Ideal Anies?
|
ISU ketidakadilan ini juga mengimbas ke pembagian uang dari hasil minyak Petroliam Nasional Berhad (Petronas), perusahaan minyak dan gas yang berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN), kendati nota bene migas tersebut bersumber utama di Miri, Sarawak, wilayah Malaysia di pulau Kalimantan.
Bergabungnya Sarawak dan Sabah ke Malaysia pada 16 September 1963 itu berdasarkan rekomendasi Pemerintah Inggris.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies Menguat, Semua Merapat
|
Sebagai penguasa dari Negara-negara Persemakmuran Inggris Raya, maka Singapura, Sabah, dan Sarawak disetuju untuk bergabung dengan PersekutuanTanah Melayu, agar Federasi Malaysia dapat dibentuk.
Setelah bergabung dengan Malaysia, partai politik utama Negara Bagian Singapura, yakni People's Action Party (PAP) pimpinan Lee Kuan Yew, berhasil memenangkan negara bagian.
Kemenangan PAP itu karena sering menyuarakan keistimewaan mengenai kaum bumiputera, memicu banyak Organisasi Nasional Melayu Bersatu untuk mendesak pemerintah agar menangkap Lee Kuan Yew.
Ketika Singapura Dibuang MalaysiaPada 7 Agustus 1965, proklamator Malaysia sekaligus Ketua Menteri Malaya pertama, Tunku Abdul Rahman Putra membuang Singapura dari Malaysia.Namun, banyak warga Malaysia mengganggap bahwa tindakan Tunku Abdul Rahman ini sebagai satu kerugian. Ini karena menurut mereka, sebenarnya masih banyak cara lain untuk menjaga keamanan Singapura.
Pada masa itulah terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia. Tiga marinir Indonesia - Harun Thohir, Usman Janatin, dan Gani bin Arup-sukses meledakkan MacDonnald House di Singapura pada 1965.
Ketiganya kemudian melarikan diri, namun dua diantaranya, yakni Harun dan Usman, ditangkap, kemudian dihukum gantung tiga tahun kemudian, meskipun Indonesia sudah meminta maaf.Apalagi pada 1968, Presiden Soekarno telah digantikan oleh Soeharto, yang saat itu didukung oleh Barat.
Republik Singapura sendiri dideklarasi pada 1965, kemudian muncul sebagai salah satu negara pusat perdagangan dunia.Banyak fasilitas dan kemajuan semasa pemerintahan Perdana Manteri (PM) Lee Kuan Yew.
Namun pada 1990, Lee Kuan Yew mundur dari politik kemudian digantikan oleh pemerintahan Goh Chok Tong.Pada 2004 pula, Goh Chok Tong meletakkan jabatan sebagai PM, dan memberi jalur kepada anak Lee Kuan Yew, yakni Lee Hsien Loong untuk memerintah.
Adapun terkait minusnya bumiputera dari Sarawak dan Sabah dalam memegang jabatan seniror di pemerintahan Malaysia, kembali mencuat.
Baca juga:
Ilham Bintang: Ya Ampun, Presiden
|
Minusnya PNS Sarawak dan Sabah Pegang Jabatan Tinggi di Malaysia Koran Malaysia, Free Malaysia Today melaporkan pada Sabtu, 23 Juli 2022, masalah ini dipertanyakan oleh anggota parlemen, Tenom Noorita Sual.
Menurut Noorita, perpecahan rasial di kalangan PNS, seperti yang dilaporkan baru-baru ini, menunjukkan bahwa situasinya 'jelas tidak adil, dan merupakan penyebab keprihatinan yang besar.
“Sebagai perwakilan untuk bumiputera Sabah, saya sangat sedih mengetahui bahwa hanya sedikit putera Sabah, dan juga Sarawak, yang memegang posisi tertinggi sebagai pejabat pemerintahan, " katanya.
“Ini jelas memberi kesan bahwa ada cacat dalam penunjukan untuk posisi-posisi ini di pegawai negeri kita, ” kata Wakil Ketua Partai DAP Sabah dalam sebuah pernyataannya.
* Pisah dari Malaysia, Gabung ke Indonesia ? *Permasalaannya karena muncul keluhan dari sejumlah tokoh masyarakat di Sarawak dan Sabah karena wilayah mereka menjadi negara bagian paling miskin di Malaysia ketimbang 'rekan-rekannya' di Semenanjung Malaysia.
Itu sebabnya, tak sedikit warga Sarawak dan Sabah ingin dua negara bagian itu untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Jika pernyataan ini benar dan mewakili aspirasasi rakyat Malaysia di wilayah Kalimantan, maka hal itu mungkin saja terjadi.
Hal ini karena adanya kedekatan antara warga Malaysia dan warga Indonesia di Kalimantan. Apalagi didukung dengan lancarnya transportasi darat antara Pontianak, Ibukota Provinsi Kalimantan Barat, Sarawak dan Sabah selain ke negara Brunai Darusallam.
Selain itu, kan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara, yang sedang dibangun secara bertahap di Kalimantan Timur, juga bakal menjadi pesona tersendiri bagi warga Kalimantan di wilayah Malaysia terkait keinginan bergabung tersebut.
Apalagi, etnis Dayak selaku pribumi Kalimantan, memiliki hubungan emosional sangat dekat dengan saudara-saudaranya di Kalimantan wilayah Indonesia.
Atas dasar itu, Pemerintah Malaysia seharusnya memberlakukan keadilan bagi warga Sarawak dan Sabah. Sebab, jika rasisme itu benar ada, dan masih terjadinya ketidakadillan pembagian royalti migas ke negara-negara bagian Malaysia ini, maka jangan heran jika kelak warga Sarawak dan Sabah nantinya mengibarkan bendera merah putih di depan rumah mereka.***